Perasaan Negatif yang Mudah Menular

Meski dunia semakin hari semakin menyebalkan, saya ingin teman-teman saya tetap hidup. Ini mungkin egois, tetapi saya berharap mereka bisa bertahan sedikit lagi.

Orang-orang yang beruntung umumnya mendapat petuah atau wejangan dari orangtuanya soal bagaimana menjalani hidup. Baik soal bersikap bijak, motivasi, dukungan, maupun kiat-kiat menghadapi dunia.

Entah ingatan saya yang buruk atau memang saya tidak pernah menerima wejangan semacam itu. Saat remaja, pernah saya mengutarakan niat belajar musik. Bukannya disokong, malah langsung diserang dengan kalimat “layu sebelum berkembang” bahkan sebelum saya benar-benar mencoba. Saat sedang lelah-lelahnya berlatih Taekwondo, saya dituding “tidak punya niat” dan seragam langsung dibuang di selokan. Hanya karena bolos satu hari, saya dihukum berlari di kebun brokoli tengah malam yang ada kuburannya. Saya ingat betul berlari kedinginan di pegunungan Bandung Barat sambil menangis hingga napas sesak. Kenangan buruk itu terus terngiang hingga lambat laun, saya tumbuh menjadi pribadi yang pesimis.

Mudah sekali melupakan hal-hal baik, karena memori terpaut pada ucapan jahat yang mungkin dicetuskan sambil lalu.

Sekarang saya sudah mulai berdamai dengan memori buruk, tetapi bagian itu akan saya ceritakan di lain waktu.

Cuplikan di atas saya ambil sebagai contoh bagaimana pikiran dan perasaan negatif bisa begitu memengaruhi. Ia merekat sangat erat bahkan menggerogoti hidup kita pelan tapi pasti.

Saya memang masih memiliki kecenderungan pesimis dan berpikir negatif. Kawan dekat saya kenyang soal gurauan bunuh diri dan kematian. Namun, ya sebatas itu. Saya tidak tahu akan berapa kali menghadapi masa-masa terpuruk, tetapi saya berhasil melewati salah satunya.

Ada masa di mana hidup saya benar-benar tidak berguna dan semua pilihan yang saya ambil serba salah. Saya merasa hanya menjadi beban karena bergantung pada orang lain dan tidak segera menuntaskan kewajiban. Ada rasa bersalah kepada setiap orang yang saya kenal dan selalu berpikir dunia akan baik-baik saja, bahkan lebih baik, tanpa ada saya. Mempertanyakan masa lalu, hingga masa depan. Seolah tidak ada satu pun alasan untuk bahagia. Teman dekat sudah pindah ke luar kota. Teman lainnya juga tidak ada urusan lagi dengan saya. Tidak ada alasan lagi untuk saya berada di kota itu, lebih ekstrim lagi, saya berpikir tidak ada alasan untuk berada di dunia.

Jika diingat-ingat kembali secara sederhana, sebenarnya saat itu saya cuman miskin dan tidak ada teman. Hanya saja kepala berputar-putar seolah keadaan yang saya alami sepenuhnya kesalahan saya. Padahal ya tidak juga.

Kendati demikian, perasaan-perasaan semacam itu tidak mudah hilang.

Saya berpikir bahwa menjadi negatif dan pesimistis merupakan cara paling aman untuk menghindari luka. Saya selalu kagum pada orang yang penuh harapan dan optimis. Mereka berani dan seolah siap menghadapi berbagai kemungkinan meski hasilnya menyakitkan. Sementra menjadi pesimis tidak perlu dihantui dengan harapan-harapan.

Belakangan, kebiasaan saya untuk bersikap pesimis dan negatif mulai membuat saya sendiri resah. Orang-orang di sekitar saya, mulai adik hingga teman, mulai banyak yang bersikap serupa.

Itu tentu suka-suka mereka saja. Namun, saya deg-deg-an kalau membayangkan mereka ada di posisi saya di masa itu, yang merasa tidak punya teman.

Itu adalah fase hidup paling menyebalkan dan bikin mual. Seandainya ada mesin waktu yang bisa membawa saya yang sekarang ke masa itu, saya ingin mendobrak pintu indekos lalu memeluk diri saya sendiri. Mengusap kepala dan menepuk pundaknya sampai ia bisa tidur nyenyak.

Sayangnya, karena belum ada yang berhasil menciptakan mesin waktu, saya hanya bisa mendobrak pintu yang ada di depan saya. Artinya, saya tidak ingin orang-orang di sekitar saya mengalami hal yang sama. Saya tidak tahu hal apa yang baiknya saya lakukan, tetapi saya tidak buruk-buruk juga sebagai tempat untuk berbagi cerita. Lantas saya senang jika ada teman yang cerita. Setelahnya mengukur secara kasar apakah mereka masih bisa bertahan atau tidak.

Saya tidak punya wejangan atau kata bijak, paling hanya bisa bilang “dikit lagi, bisa kok” semacam bidan memberi motivasi ke ibu melahirkan yang padahal kepala anaknya baru nongol seperempat.

Kematian dan kiamat adalah hal yang pasti. Keadaan tidak akan lebih baik. Dunia semakin hari akan semakin menyebalkan. Bertahan hidup untuk sehari ke depan mungkin akan terasa lebih berat. Tapi..

Bisa tidak bertahan sedikit lagi?

Setidaknya kita bisa mengutuki dunia dengan sisa-sisa waktu yang ada. Tidak apa menjadi pesimis hingga bercita-cita menjadi kurir narkoba. Jika dunia begitu menyebalkan, kita hanya perlu membuatnya sebal balik dan menertawainya.

Terlepas dari itu, akan ada masanya kita akan teringat hal-hal baik.

Di usia mendekati 28 tahun ini, seperti saya bilang sebelumnya, alih-alih berpikir negatif 24/7, saya mulai berdamai dan mengingat hal baik yang pernah saya alami. Salah satunya mengenal kalian.

Terima kasih sudah bertahan hari ini.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.