Filep Karma yang Melawan Tanpa Kekerasan

Saya mengira jenis buku yang bisa bikin menangis adalah buku fiksi. Namun, buku pertama yang buat saya menangis sesak yakni buku Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang. Ia berisi fakta yang menohok rasialisme orang Indonesia, salah satunya saya.

Saya pertama kali tahu buku itu dari kawan di Ideas, Dieqy. Ketika kami berdua menaiki kereta Logawa menuju Yogyakarta pada 2015, Dieqy membaca buku bersampul merah hitam itu sepanjang perjalanan. Saat itu kami hendak mengikuti Kelas Narasi di KBEA.

Saya baru sempat membaca di tahun berikutnya saat sudah diedarkan secara gratis dalam bentuk digital.

Sebagian besar isi bukunya berisi tanya jawab, tetapi dari situ saya bisa membayangkan dengan jelas tiap momen-momen kejadian yang Filep ceritakan. Soal masa kecilnya, pembantaian di Biak, kisahnya di penjara, menjadi tahanan politik, hingga bagaimana dia terhubung dengan orang-orang serta organisasi.

Banyak bagian dari jawaban Filep yang terasa persis seperti seorang bapak yang dengan runut dan detail, bercerita kepada anaknya.

Sebagai latar, saya lahir di keluarga Jawa, ras paling mendominasi dalam pemerintahan Indonesia. Lingkar pertemanan, keluarga, termasuk Papah saya sendiri menganggap guyonan rasis adalah hal wajar. Saya hidup selama 20 tahun lebih tanpa menyadari berada dalam kubangan rasialisme. Hidup di tengah bangsa yang menindas, menjajah, menganggap suatu ras lebih rendah, bahkan memperlakukan mereka seperti binatang. Betapa butanya saya. Filep Jacob Semuel Karma membantu mencelikkan.

Saya, Andreas Harsono, dan Filep Karma di KBR kantor Menteng, 23 Februari 2018. (Sumber: Facebook KBR)

Saya termasuk orang yang beruntung karena sempat bertemu sosok yang membuat saya menangis karena bukunya.

Saat itu saya sedang di Jakarta. Pada Jumat, 23 Februari 2018, mentor saya di Yayasan Pantau, Andreas Harsono mengajak saya dan beberapa peserta kelas menulis untuk menghadiri penyerahan Penghargaan Oktovianus Pogau kepada pemimpin redaksi KBR, Citra Dyah Prastuti.

Oktovianus Pogau diambil dari nama seorang wartawan sekaligus aktivis Papua. Pengahraan itu diberikan untuk mengenang keberanian dalam jurnalisme.

Saya datang ke kantor KBR yang saat itu masih di Menteng, Jakarta Pusat. Setahun berikutnya saya jadi kontributor daerah untuk kantor tersebut hingga lulus kuliah.

Penyerahan penghargaan itu dihadiri rombongan sekitar 18 orang. Ada beberapa sosok yang awalnya hanya saya dengar namanya, tetapi bisa bertemu langsung.

Ada Made Ali, wakil koordinator Jikalahari, sebuah organisasi lingkungan hidup dari Pekanbaru, Riau. Atmakusumah Astraamadja datang bersama isterinya, Sri Rumiati. Atma adalah mantan ketua Dewan Pers (2000-2003), pernah dapat Penghargaan Magsaysay dari Manila tahun 2000 atas perjuangannya dalam kemerdekaan pers di Indonesia. Ada pula edior senior Mongabay Sapariah Saturi, persma, serta beberapa orang lainnya yang saya kurang ingat.

Ketika semua orang sudah berkumpul di ruangan, seseorang berpakaian coklat seragam pegawai negeri sipil (PNS) datang. Pria berewok berkacamata itu memakai topi loreng dengan bendera Timor Leste di bagian tengahnya. Jenggotnya yang penuh uban itu dia buat gimbal dan panjang sampai ke dada. Lantas satu lagi atribut yang membuat saya yakin dia adalah Filep Karma, pin bintang kejora yang ia sematkan di bajunya.

Filep kemudian duduk di bangku seberang saya. Ia menyapa orang-orang dengan ceria seraya meminta maaf karena telat. Pada suatu kesempatan lain Andreas sempat bilang pada saya, itu salah satu kebiasaan buruk kawannya: terlambat.

Made Ali segera membuka acara penyerahan penghargaan. Ia mempersilakan orang-orang untuk saling bercerita tentang Citra dan KBR.

Giliran Filep berdiri. Filep Karma cerita pengalaman ketika mendengar siaran KBR di penjara Jayapura.

“Jadi kalau masuk pas acara (Papua), volume radio saya keraskan sebesar-besarnya. Supaya tetangga kiri kanan dengar semua.”

Filep menjadi tahanan politik Papua, yang dikurung dari 2004 sampai 2015. Ia bercerita salah satu pengalaman bersama teman-temannya di penjara. Mereka kucing-kucingan dengan petugas agar bisa menyelundupkan telepon genggam. Mereka sengaja melakukannya agar bisa tersambung dengan siaran langsung radio KBR. Selanjutnya, dia menceritakan kehidupannya selama di penjara, tentang jatah makan yang tak layak lewat radio. Suaranya mengudara melalui KBR.

“Itu membuat dari pihak LP tegang juga,” tambah Filep.

“Kami dengan adanya itu, rasanya kami dekat sekali. Dan disiarkan langsung, semua dengar,” cerita Filep pada semua yang ada di ruangan itu.

Filep Karma menyerahkan tumpeng kepada penerima Penghargaan Oktovianus Pogau, Citra Dyah Prastuti, di kantor KBR Menteng, 23 Februari 2018.

Filep baru bebas dari penjara pada November 2015. Ditahan hampir 15 tahun di penjara tidak membuat Filep berhenti berjuang atas kemerdekaan bangsanya. Ia sempat menggugat pemerintah Indonesia pada Mahkamah Internasinal di New York, bahkan memenangkan gugatannya. Dia resmi dinyatakan sebagai korban penahanan sewenang-wenang. Dia juga tidak terbukti pernah menganjurkan kekerasan dalam menggunakan hak berpendapat soal Papua Merdeka.

Setelah membaca cerita tentang ketidakadilan yang Filep alami, saya pikir sosoknya akan seperti tipikal aktivis, garang dan berapi. Ketika bertemu langsung, ternyata tidak. Dia hangat.

Dia tersenyum pada setiap orang. Tertawa lebar dan mudah membaur. Filep memiliki hati yang besar dan terbuka kepada siapa saja yang ingin tahu soal perjuangan rakyat Papua. Dia dengan tekun bercerita dari satu orang ke orang lain. Aktivis, wartawan, mahasiswa, dia menerima semua. Bercerita dengan semangat tanpa ada kebencian. Melalui caranya, dengan tekun dia memberi kesaksian tentang penindasan di tanah Papua.

Saya tidak punya peran apa-apa selain mendukung Papua merdeka.

Mungkin tidak dalam waktu dekat, mungkin akan butuh waktu yang cukup lama, tetapi saya ingin percaya bahwa suatu saat Papua akan membentangkan bendera bintang kejora dengan bebas.

Sayangnya, Filep berpulang sebelum sempat menyaksikan bangsanya merdeka.

Pagi hari, 1 November 2022, Polresta Jayapura Kota mendapati jasad Filep di Pantai Base-G, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua. Ia diduga tenggelam ketika menyelam. Filep meninggal di usia 62 tahun.

Setahun sebelumnya penyelam profesional itu sempat dinyatakan hilang. Kemudian ditemukan terdampar di Pantai Skouw Yambe, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura sehari setelahnya. Kasusnya sama, hanyut ketika menyelam.

Filep telah pergi, tetapi saya yakin perjuangannya akan terus hidup. Perlawanannya atas penindasan dan penjajahan tidak akan pernah terlupa. Satu hal yang saya pelajari betul dari Filep, dia melawan tanpa kekerasan.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.